Desa Kebalandono terletak di kecamatan Babat kabupaten Lamongan. Daerah Lamongan khususnya daerah babat dikenal dengan daerah perbukitan kapur hasil pergerakan lempeng bumi. Hal itu jelas tidak mendukung adanya persawahan di daerah sekitar.
Perbukitan kapur tersebut kini di jadikan pertambangan bahan galian C dan menambah potensi kekeringan di wilayah tersebut. Karakteristik daerah kapur yang tidak bisa menahan air dan kering menjadikan masyatakat tidak bisa selalu berhasil dalam bertani.
Meskipun demikian bertani adalah salah satunya harapan mereka. Sebagian dari mereka yang memiliki sawah bumi 100 atau sekitar kurang lebih 1.000 meter persegi mengaku sering kali merugi. Harga pupuk dan bibit serta biaya perawatannya lebih mahal dari pada harga jual. Bertani merupakan bagian dari kehidupan masyarakat desa kebalandono. Meskipun hasil yang akan didapatkan tak tentu namun hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi mereka. Mereka senang bisa bertani dan menjadikannya kegiatan yang bermanfaat. Mereka berharap usaha yang dilakukan akan membuahkan hasil.
Sebenarnya daerah kebalandono memiliki kawasan rawa dimana kawasan tersebut bisa menjadi tempat penampuangan air. Akan tetapi daerah persawahan yang berada di perbukitan kapur tidak memungkinkan membawa air mengalir ke atas. Lantas bagaimana caranya memanfaatkan rawa agar dapat membantu perairan sawah masyarakat?
Pemerintah desa sebelumnya sudah memperluas jalur perairan hingga ke bawah jalan raya yaitu perbatasan antara kawasan pemukiman dan persawahan akan tetapi perluasan hanya dapat dilakukan di daerah pemukiman sedangkan di daerah persawahan hanya berupa parit. Lantas bagaimana caranya agar sawah tidak kering?
Masyarakat biasanya membangun sumur bor di sekitar sawah mereka, namun itu hanya bagi mereka yang memiliki cukup modal, sedangkan masyarakat yang memiliki keterbatasan modal hanya bisa meminta bantuan diesel dengan membayar harga perjamnya. Namun tidak jarang ada yang berbaik hati menyalakan diesel dan airnya mengalir ke sawah sawah lain. Hal itu membuktikan keteguhan masyarakat untuk mengolah sawah mereka agar dapat mencukupi kebutuhan mereka dan sudah menjadi kebudayaan mereka.