Kejaksaan Negeri Karanganyar akhirnya menetapkan 2 tersangka dugaan tindak pidana korupsi BUMDes, Desa Berjo di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Mereka adalah S, Kepala Desa Berjo dan EK, mantan direktur BUMDes di desa tersebut.
Kasus ini tergolong menarik. Karena dugaan tipikor ini melibatkan institusi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa itu. Sebuah fenomena yang baru. Sebelumnya desa ini sempat viral karena berhasil mengelola beberapa obyek wisata melalui BUMDes. Bahkan karena keberhasilan tersebut, Berjo sempat disebut desa terkaya di Karanganyar.
Sebuah antiklimaks proses tata kelola perusahaan, yang sebelumnya terlihat baik-baik, namun ternyata terjadi salah tata kelola dan menyebabkan kegagalan manajemen.
BUMDes adalah entitas unik yang sebenarnya merupakan khasanah kekayaan bangsa. Kemunculannya belum terlalu lama. Awal dekade 2000-an fenomena BUMDes mulai muncul dan menggantikan Koperasi Unit Desa (KUD) yang sangat populer di era orde baru. Jika dibandingkan dengan KUD, BUMDes memang terkesan lebih kapitalistis. Permodalan lebih menonjol ketimbang aspek sosialnya.
Kalau kita runut, maka kemunculan BUMDes di Indonesia dibarengi dengan menguatnya semangat pengaturan tata kelola, khas rejim neo liberal, yang setengah hati mengatur pasar. Sehingga wacana good corporate governace dan anti korupsi seringkali coba dilekatkan kepada entitas BUMDes ini. Selain ada kategorisasi semacam BUMDes bentukan, BUMDes berkembang dan BUMDes maju, tiba-tiba BUMDes tak bisa dipungkiri juga banyak yang kemudian terseret kasus korupsi yang dilakukan pengurusnya.
Mencoba mengolah hasil pemantuan tren penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang tren penindakan kasus korupsi, sejak tahun 2015 hingga tahun 2022 setidaknya ada 23 kasus korupsi yang menyeret institusi BUMDes ini. Kurang lebih 32 orang telah berburu rente dan diduga dengan melanggar hukum sehingga merugikan BUMDes ini. Mereka menjadi tersangka kasus korupsi.
Diurai dari data di atas, maka para pemburu rente di BUMDes ini, sebanyak 75%-nya adalah jajaran pengurus BUMDes sendiri. 25% sisanya adalah pihak di luar institusi BUMDes. Ini merupakan indikasi bahwa kapasitas dan integritas pengelola BUMDes masih dominan sebagai penyebab buruknya tata kelola institusi, yang menyebabkan penyimpangan.
Sayangnya aturan tentang BUMDes kalah cepat dibanding boomingnya institusi BUMDes itu. BUMDes dan Kasus-kasus korupsi sudah terlanjur merebak mulai tahun 2008, sementara aturan tentang tata kelola baru muncul setelah terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa. Dalam permasalahan BUMDes, bila kemudian pidana korupsi muncul sudah barang tentu aturan yang akan dirujuk adalah UU tipikor. Akan tetapi dalam domain pencegahan korupsi maka aturan yang mengatur adalah UU desa, dan belakangan UU Cipta Kerja.
Kini BUMDes dapat dikembangkan dan ditata menjadi lebih maju menjadi entitas bisnis berbadan hukum, bukan sekedar badan usaha. Dengan berubahnya BUMDes dari badan usaha menjadi entitas bisnis berbadan hukum maka terkait dengan permasalahan penegakan hukum dapat diantisipasi lebih baik melalui pencegahan di ranah tata kelolanya.
Fenomena BUMDes ini secara lebih makro, sebenarnya merupakan miniatur dari BUMN. Kalau di Kementerian BUMN pernah ada program upaya reformasi BUMN, seperti Good Corporate Governance (2011), kemudian BUMN Bersih (2013), Zona Integritas (2015), dan terakhir ada Akhlak BUMN (2019), sudah seyogyanya di BUMDes juga perlu dibuat platform-platform konsep tata kelola seperti, ini agar BUMDes juga melakukan transformasi tata kelola.
Sebagian besar dana BUMDes merupakan penyertaan modal dari pemerintah desa. Sehingga dalam konteks pertanggungjawaban keuangannya, tak ubahnya seperti BUMN, apabila ada kerugian dari tindak pidana korupsi di BUMDes, hal itu bisa dimaknai juga sebagai kerugian negara. Apalagi dari beberapa kasus korupsi di BUMDes, uang yang dikorupsi merupakan dana pendirian BUMDes yang berasal dari pos Anggaran Dana Desa (ADD) yang berasal dari Kabupaten.
Mencegah berlanjutnya praktek korupsi di BUMDes sangatlah mendesak dilakukan. Karena mengutip catatan ICW di atas, dana yang dikorupsi di BUMDes yang terseret kasus, mencapai Rp 12.186.635.588. Ini bukan jumlah dana yang sedikit.
Berdasarkan data Ditjen PMD Kemendagri tahun 2020, dari 48.224 BUMDes yang ada di Indonesia terdapat 43.963 BUMDes yang memiliki omset kurang dari 100 juta/tahun, 3.212 BUMDes yang mempunyai omset 100-500 juta/tahun, 463 BUMDes mempunyai omset 500 juta – 1 milyar dan 584 BUMDes mempunyai omset lebih dari 1 milyar. Ini artinya sebagian besar BUMDes yang sebenarnya sudah tak banyak memiliki sumber daya keuangan yang cukup melimpah, justru kemudian malah dikorupsi. Ibarat sudah jatuh kemudian tertimpa tangga.
Kini Desa memasuki era self governing community, desa telah memiliki hak otonomi dan kewenangan dalam perencanaan, pelayanan publik, dan keuangan. Desa tidak perlu lagi menunggu instruksi dari supra struktur desa di atasnya seperti kecamatan, kabupaten provinsi dan pemerintah pusat. Dengan demikian maka mencegah korupsi BUMDes juga sebuah upaya yang harus dilakukan secara mandiri, tanpa menunggu instruksi otoritas di atasnya. Kita semua berharap entitas BUMDes ini menjadi kekayaan bangsa yang bermutu baik dan maju serta bisa dibanggakan.
Selain itu Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa di masing-masing Kabupaten bisa melakukan pembinaan agar pengelolaan BUMDes tidak menyimpang dari aturan perundang-undangan dan manajemen tata kelola yang baik.
Lais Abid, peneliti pada Obor Desa Institute dan pegiat antikorupsi