Pedesaan dan wisata sejatinya adalah dua entitas yang berbeda. Meski tidak terlalu jauh, tetapi diantara keduanya ada garis demarkasi yang cukup tegas.
Namun selama kurang lebih 15 tahun belakangan keduanya main mata. Mereka sepertinya mau berjodoh. Syahdan ketika tahun 1993, di Desa Berjo yang merupakan sebuah desa di Kabupaten Karanganyar Jawa tengah membuka sebuah kawasan yang disana ada air terjun yang sebenarnya tidak terlalu dalam posisi air terjunnya.
Kala itu Bupati Karanganyar, Rina Iriani datang langsung meresmikan pembukaan wisata air terjun yang belakangan disebut sebagai air terjun Jumog itu.
Pembukaan tempat wisata itu ternyata dinisiasi oleh pemerintahan Desa Berjo dan bahkan selanjutnya dikelola oleh pemerintah desa setempat. Belakangan pemerintah desa mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mengelola tempat wisata tersebut, sekaligus tempat wisata lain di desa tersebut serta usaha-usaha lain seperti simpan pinjam.
Ini seakan menabalkan munculnya BUMDes yang direstui oleh pemerintah dan DPR melalui UU No. 6 Tahun 2014 Tentang desa. Di mana salah satunya adalah berbicara soal keberadaan BUMDes tersebut.
Keberadaan wisata yang dikelola oleh komunitas atau pemerintah desa seakan memunculkan dikotomi kawasan wisata yang dikelola oleh pemerintah pusat atau BUMN dan kawasan wisata yang belakangan dikelola oleh masyarakat.
Tentu kita sudah tahu bagaimana negara telah lama mengelola kawasan wisata Candi Prambanan dan Borobudur. Pengelolaannya dipercayakan kepada sebuah BUMN yang memang kompeten ngurusi kawasan wisata.
Salah satu contoh kawasan wisata yang dikelola oleh komunitas sebenarnya sudah ada sejak lama. Misalnya kawasan wisata Selecta di Kota Batu –dulu masuk Kabupaten Malang. Selecta didirikan oleh seorang warga Belanda bernama De reyter De Wild pada tahun 1928. Bangunan lama di Selecta ini saat ini masih terlihat di beberapa bagian di kolam renang serta pada beberapa wisma peristirahatan serta kantor yang terletak di wilayah tersebut.
Bangunan di Selecta ini sempat berpindah kepemilikan selama beberapa kali. Pada masa pendudukan Jepang, hotel Selecta sempat dikelola oleh warga negara Jepang bernama Hashiguchi. Selanjutnya tempat ini juga sempat dihancurkan pada masa revolusi fisik karena dianggap sebagai milik Belanda. Namun pada sekitar 1950, Selecta mulai dibangun kembali oleh masyarakat sekitar dan tetap terjaga hingga saat ini. Saat ini dikelola oleh sebuah PT dengan pemegang saham sebagian besar berdomisili di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji Kota Batu.
Kini ribuan bahkan ratusan ribu desa wisata berkembang di seluruh Indonesia. Di Jawa Timur sekedar menyebut beberapa misalnya ada Kampung Budoyo Polowijen, Kecamatan Blimbing di Kota Malang. Kemudian ada Desa Wisata Jambu di Kecamatan Karen, Kabupaten Kediri.
Kemunculan obyek wisata berbasis perdesaan diharapkan menjadi pusat ekonomi baru dan bisa mengurangi ketimpangan masyarakat perdesaan dan perkotaan. Maka tak heran jika kini kawasan wisata yang berbasiskan pedesaan terus bertambah jumlahnya. Membaca laporan yang dimuat obordesa.id yang banyak menginformasikan munculnya banyaknya desa wisata juga menguatkan anggapan ini.
Di beberapa daerah, masyarakat berinvestasi secara mandiri atau berkelompok untuk mengembangkan obyek wisata alternatif. Investasi dilakukan agar kawasan wisata semakin menarik dan bisa menggaet lebih banyak wisatawan. Keterlibatan warga sekitar juga berhasil mendorong perekonomian secara berkelanjutan karena masyarakat memiliki sumber penghasilan lain di luar ekonomi berbasis pertanian.
Warga atau masyarakat kini banyak yang melakukan investasi sampai nilai jutaan untuk mengembangkan dan membangun kawasan wisata di desanya. (Kompas, 6 Desember 2016). Dengan berinvestasi mereka sudah banyak yang meraup keuntungan dari investasinya tersebut.
Banyak juga yang membangun tempat wisata secara perorangan dengan mengubah properti miliknya seperti kebun atau tanah yang mangkrak atau sudah minimal produksinya. Ada juga pola kerjasama perorangan yang bekerjasama dengan PT Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan.
Melihat fenomena ini cukup optimis bahwa perkawinan antara wisata dan pedesaan akan memberi harapan terhadap akselerasi pemulihan ekonomi berasal dari masyarakat desa. Antisipasi berkembangnya kluster baru wabah covid-19 di kawasan wisata pedesaan harus dilakukan sedini mungkin.(L.A.)