Sekolah Kepemimpinan Publik atau SKP rupanya rutin menyelenggarakan diskusi daring. Tercatat dua minggu ini berturut-turut menggelar diskusi melalui zoom. Senin malam, 3 Oktober 2022 institusi ini kembali menggelar diskusi yang diberi label Seri Kuliah Kepemimpinan yang kali ini mengangkat tema “Kepemimpinan Desa dan Permasalahannya”.
Hadir sebagai narasumber adalah Yana Noviadi, Kepala Desa Mandalamekar Kec. Cimenyan Kabupaten Bandung Periode 2008 hingga 2018. Kemudian ada Irwan Susanto, Kepala Desa Pandansari Kecamatan Paguyangan Kabupaten Brebes dan juga Sugiyanto, Kepala Desa Susukanrejo Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan. Sayang Irwan Susanto berhalangan hadir.
Moderator acara ini, Endah Marendah Ratnaningtyas, S.E., M.M., Dosen Universitas Mahakarya Asia awalnya cukup jeli memantik diskusi. Sambil mengutip pendapat Sutoro Eko tentang 3 tipe kepemimpinan, ia rupanya berharap narasumber bisa bercerita tentang praktik kepemimpinan (leadership) yang mereka terapkan di desanya masing-masing..
Menurut Sutoro Eko, kepemimpinan desa ada 3 tipe, yaitu tipe Kepemimpinan kepala desa Regresif, yakni kepemimpinan yang berwatak otokratis. Pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Tipe ini bercirikan anti perubahan, terkait dengan perubahan tata kelola baru tentang desa, baik itu musyarawah desa (musdes), usaha ekonomi bersama desa dan lain-lain, sudah pasti akan ditolak. Tipe kedua adalah tipe kepemimpinan kepala desa Konservatif-Involutif, ini merupakan model kepemimpinan kepala desa yang ditandai dengan hadirnya kepala Desa yang bekerja apa adanya (taken for granted), menikmati kekuasaan dan kekayaan, serta tidak berupaya melakukan inovasi (perubahan) yang mengarah pada demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat desa.
Tipe ketiga adalah kepemimpinan kepala desa inovatif-progresif, yang ditandai dengan adanya kesadaran baru mengelola kekuasaan untuk kepentingan masyarakat banyak. Model kepemimpinan ini tidak anti terhadap perubahan, membuka seluas-luasnya ruang partisipasi masyarakat, transparan serta akuntabel.
Sayangnya narasumber kali ini memang bukan pakar tentang kepmimpinan. Mereka adalah praktisi. Mereka kades yang tidak peduli dengan 3 konsep di atas. Namun dari mereka mempraktekkan gaya kepemimpinannya justru menurut Endah sangat menginspirasi.
Mereka punya cerita yang berbeda. Karena Yana sudah pensiun sebagai kades, sementara Sugiyanto baru 4 bulan menjabat kades. Cerita dari keduanya menyiratkan bahwa ada problem dalam proses bergantinya kepala desa. Parktik kepemimpinan seorang pemimpin tidak serta merta bisa diwariskan ke pemimpin berikutnya. Apalagi tidak ada upaya pelembagaan dari praktik kepemimpinannya itu.
Yana Noviadi, memulai ceritanya selama mulai mengawali masa-masa sebagai kades. Pada tahun 2007 saat awal menjadi kades ia mendapatkan anggaran dari pemerintah kabupaten sebesar pertama 300 juta, lalu kedua mendapat 600 juta, dan ketiga 900 juta. Jumlah itu termasuk sangat sedikit untuk membangun desa Madalamekar.
Awalnya desa Mandalamekar adalah desa tertinggal. Desa ini hanya mewarisi hutan yang ada mata airnya dan goa dari nenek moyang. Ini menjadi tantangan bagi Yana untuk berbuat baik untuk linkungan hidup. Menurut ingatannya, karena salah mengelola lingkungan, Desa Mandalamekar rupanya pernah kejadian kekurangan air.
Yana menyebutkan bahwa ada tiga periode dalam mengembangkan desanya itu. Tahun 2007 sampai 2016 ia merintis menjadi desa berkembang. Kemudian tahun 2016-2020 berubah menjadi desa wisata, serta periode tahun 2020-2026 dicanangkan menjadi desa mandiri.
Melihat situasi Yana memiliki konsep, bahwa ia harus memelihara hutan agar air di desa itu stabil. Pada tahun 2007 ia membikin leaflet dan disebar via pos dan dikirim ke banyak pihak. Kemudian mendapat tanggapan dari dinas kehutanan Propinsi Jawa Barat. Mereka mendapat bantuan bibit, melalui perjuangan mendapat juara 2 desa konservasi dan pelestarian lingkungan.
Selanjutnya tahun 2010 dapat award dari lembaga Seacology AS (http://seacology.org), dan mendapatkan hadiah uang sebesar kurang lebih 200 juta rupiah.
Di sisi lain, pada tahun 2009 ia membuat blog dengan alamat mandalamekar.wordpress.com, meski saat itu belum ada internet dan semua masih gaptek atau gagap teknologi. Pembuatan blog ini untuk menggantikan pencetakan leaflet yang saat itu membutuhkan dana 3 juta rupiah, cukup mahal. Belakangan desa Mandalamekar membangun website dengan domain http://www.mandalamekar.desa.id. Namun saat diakses website ini sudah tidak aktif. Ini hal yang sering terjadi. Ketika perangkat desa kemudian mengalami pergantian dan penggantinya tidak memiliki kecakapan yang dibutuhkan untuk mengelola website, maka website akan terbengkalai.
Tak hanya itu, kiprah Desa Mandala Mekar di dunia internet. Yana pernah mengusulkan desa harus memiliki punya domain sendiri. Desa harus memiliki kategori Top Level Domain (TDL) sendiri. Tak sia-sia usulan Yana dan Desa Mandala Mekar ini. Pada bulan Mei 2013 Pengelola Nama Domain Indonesia (PANDI) mersemikan TDL namadesa.desa.id.
Yana melanjutkan, selain membuat blog, ia juga membangun radio komunitas. Radio ini juga untuk menyebarkan informasi tentang desa Mandala Mekar ke warga desa itu. Dari radio tersebut diinformasikan kepada masyarakat tentang apa yang harus dibangun dan apa yang dilarang dalam konservasi alam.
Selanjutnya tahun 2012 Desa Mandala Mekar menyelenggarakan seminar di desa dengan mengundang peserta dari seluruh Indonesia.
Ada rentetan program Desa Mandala Mekar yang dinakhodai Yana. Dimulai dari membangun desa berbasis IT yang muncul dari desa, kemudian Gerakan Desa Membangun, kemudian membangun website yang ada informasinya tentang desa seperti itu.
Waktu DPR melakukan rancangan UU Desa, Yana juga berharap desa punya anggaran sendiri dari pusat. Dan syukurnya harapan itu dikabulkan, dengan adanya Dana Desa (DD). Situasi ini menuntut konsekuensi baru. Desa Mandala Mekar yang berlokasi 40 km dari Tasikmalaya dan mengelola DD desa yang berjumlah besar akan luput dari pemantauan. Sehingga dengan adanya UU Desa memperingan pekerjaan Yana sebagai kepala desa. UU Desa menyebutkan bahwa desa harus dibangun sistem informasi. Sehingga dengan website Desa Mandala Mekar bisa diawasi dari mana saja.
Saat Desa Mandala Mekar membangun IT desa tahun 2007, belum ada internet. Untuk mengakses internet harus pergi ke kota untuk upload informasi. Yana melakukan itu, bahkan dia juga dibantu teman di kota untuk mengunggah informasi desanya itu.
Barulah perusahaan telekomunkasi Telkom membangun tower di Desa Mandala Mekar pada tahun 2013. Pembangunan tower BTS ini juga memicu dibangunnya jalan ke Desa Mandala Mekar. Sebab sebelumnya belum ada akses jalan ke sana.
Tahun 2014 saat UU Desa sudah diundangkan lalu juga digelontorkan dana desa, Desa Mandala Mekar baru bisa melakukan kerjasama membangun desa dengan desa lain. Tahun 2015 terbangun kerjasama antar desa dengan 5 desa lainnya. Kerjasama itu salah satunya membangun desa berbasis IT. Saat itu juga Desa Mandala Mekar dikukuhkan sebagai desa broadband dan mendapatkan bantuan Very Small Aperture Terminal (VSAT).
Kemudian Desa Mandalamekar mendirikan perusahaan berbentuk PT untuk meminta mengelola jaringan internet Telkom di desa itu. Kemudian mereka bisa membangun BTS dan bisa memberi layanan akses internet ke masyarakat, serta bisa menjualnya kepada 15 desa berupa voucher pulsa. Hal itu dimungkinkan karena meski sudah ada BTS tapi masih ada wilayah-wilayah blankspot. Ini semua dikelola oleh Bumdes.
Yana juga menyebutkan bahwa dulu pendidikan rata-rata warga Mandala Mekar adalah lulusan SMP. Kemudian ia mencanangkan program bahwa semua warga harus lulus SLTA, sehingga tahun 2014 dibangun SMK Mandala Karya. Selanjutnya lulusan SMK ini mengelola bidang usaha IT yang dibangun desa Mandalamekar.
Sementara itu nara sumber kedua, Sugiyanto tidak terlalu banyak mengeksplorasi pengalamannya memimpin Desa Susukanrejo. Mungkin ini berbeda dengan Yana, karena Sugiyanto baru menjabat Kades 4 bulan belakangan.
Sugiyanto hanya menyoroti soal bahwa pupuk sulit diperoleh warga desanya selama ini. Akibatnya pertanian di desa itu tidak maksimal. Saat ini ia sedang menyelesaikan masalah itu. Ia menambahkan sering kebijakan yang baik dari pusat, ujung-ujungnya di bawah tidak baik. Ia mencontohkan program BLT bahan bakar saat ini. Program ini banyak yang tidak tepat sasaran. Dan kades jadi sasaran komplain dari RT dan RW. Ini dikarenakan data yang dipakai data sensus BPS yang kadang sangat beda dengan data lapangan yang sesungguhnya. Oleh karena itu ia berharap pemerintah desa dilibatkan dalam perencanaan program. Hal ini karena aparat desa yang tahu persis masalah di lapangan.
Yang menarik dari Sugiyanto ini, saat kontestasi pemilihan kepala desa berhadapan calon lawan adalah istrinya sendiri.
Memang tidak tepat untuk membandingkan model kepemimpinan dua kades ini. Karena memang situasi dan kondisi masing-masing desa berbeda-beda. Tetapi setidaknya dari model kepemimpinanya bisa dianalisa dengan konsep pendekatan yang diusulkan oleh Sutor Eko di atas.