Setelah lebih 8 tahun undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa diterbitkan, ternyata masih banyak pekerjaan rumah tentang desa yang belum selesai. Salah satu pekerjaan rumah itu sebenarnya justru terkait dengan roh undang-undang desa itu. Yaitu penerapan otonomi desa.
Setidaknya itu yang mencuat dari sebuah diskusi daring yang dilaksankan pada Senin malam, 26 September 2022. Acara yang diselenggarakan oleh Sekolah Kepemimpinan Publik (SKP) ini menghadirkan 3 narasumber, yang kesemuanya merupakan aktivis di desa.
Pertama adalah Wahyu Alif, penggerak dari Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen, Purworejo. Kemudian ada Hoerul Gunawan, SH., MH yang juga penggerak dari desa Cibiukkidul, Kecamatan Cibiuk, Garut. Sedangkan pembicara ketiga juga penggerak dari desa Andulang, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, Madura bernama Ilyasin, S.Pd.
Diskusi yang berjudul Musyawarah Komunitas Desa untuk Memperkuat Otonomi Desa itu sejak awal sudah disuguhi masalah penerapan otonomi desa. Alif yang mendapat giliran presentasi pertama mengatakan bahwa saat musyawarah desa belum berjalan secara baik. Hal ini menurut Alif karena selalu adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Harusnya desa dilepaskan saja. Pemerintah pusat cukup membimbing saja. Menurut Alif sebenarnya pemerintah pusat dengan menggelontorkan dana desa yang begitu besar harusnya sudah bisa untuk memajukan komunitas desa. Tetapi rupanya pemerintah pusat melupakan otonomi desa itu.
Harusnya dalam praktiknya, otonomi desa itu benar-benar diterapkan. Namun saat ini ibaratnya seperti kata pepatah, kepalanya dilepas tapi ekornya dipegang.
“Lantas otonomi desa itu di mana?”, kata Siti Sumaryatingsih, M.IP. dosen STPMD “APMD” yang malam itu jadi moderator.
Tak jauh berbeda, Hoerul Gunawan menyebut bahwa pelaksanaan otonomi desa saat ini sudah jauh melenceng atara konsep dan implementasinya. “Sudah menyeleweng dari konsep awalnya”, katanya yang malam itu berbicara secara daring dari wilayah Indonesia Timur. Harusnya pemerintah pusat memberi kewenangan yang lebih kepada desa.
Menurutnya saat ini penggelontoran dana desa yang besar itu hanya untuk menjalankan program dari pusat, bukan untuk menjalankan kegiatan yang merupakan kebutuhan program masyarakat di desa.
Mekanisme musrembang desa hanya seremonial saja, pada praktiknya itu pelaksanaan kegiatan yang berasal dari atas (pemerintah pusat).
Hoerul mengusulkan, perbaikan otonomi daerah dan otonomi desa harus berangkat dari desa. Caranya adalah dengan mengubah atau merekonstruksi konsep otonomi desa. Kewenangan desa harus diubah. Soal kedudukan negara dengan desa harus diubah. Pemerintah pusat harus membebaskan pemikiran desa. Kemudian dari aspek yuridis juga harus dikonsep ulang. Aturan desa seperti apa yang seharusnya dibuat. Aturan desa harusnya bisa berbasiskan desa. Lemahnya proses legislasi yang baik di tingkat desa, menyebabkan tidak ada desentralisasi yang baik. Jadi kita harus mendorong perubahan paradigma desa.
Hal yang hampir sama juga disampaikan oleh Ilyasin. Menurutnya sebenarnya otonomi desa artinya kewenangan ada di desa, tetapi selalu ada kegiatan-kegiatan yang itu prioritas dari pusat.
Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh salah satu peserta diskusi, yaitu Basnas dari Jawa Barat. Menurutnya persoalan otonomi desa lebih ke soal implementasinya. Kalau konsep dan regulasinya sebenarnya sudah cukup memadai untuk mendorong terciptanya otonomi desa yang ideal. Tinggal bagaimana implementor ini ditingkatkan kapasitasnya. Saat ini untuk menjadi kepala desa syaratnya lulusan SMA. Sedangkan apparat desa syaratnya syaratnya sarjana.
Disparitas ini kadang memunculkan masalah, misalnya kepala desa disetir oleh carik atau sekdes nya. Kalau masalah keuangan misalnya kepala desa harus disetir sekdes ini khan tidak ideal.
Namun sampai diskusinya berakhir memang sepertinya otonomi desa menjadi masalah yang belum tuntas.