Desa kembali menggelegar setelah UU No. 6 Tahun 2014 disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jaman orde baru, Presiden Soeharto juga suka menggaungkan desa. Tapi entah kenapa orang –terutama kelas menengah atas— tak begitu antusias. Mungkin kaum terpelajar sudah antipati dengan rejim saat itu. Sehingga gaung desa ya begitu-begitu saja. Pun saat awal masa transisi reformasi desa juga begitu-begitu saja gaungnya. Hanya sebagian kecil lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi yang cukup intens memperhatikannya. Biasanya dengan wacana memberdayakan dan mengangkat desa karena selalu terpinggirkan.
Benar kata orang ada gula ada semut. Ada uang banyak orang jadi kepincut. Itulah yang terjadi. Ini mungkin lantaran kemudian ada uang satu miliar rupiah digelontorkan pemerintah pusat langsung ke desa, begitu undang-undang itu disahkan. Ini yang seakan-akan membuat desa jadi magnet baru yang luar biasa. Padahal sebelum ada dana desa (DD) itu, pemerintah kabupaten dan provinsi juga sudah selalu mengalokasikan dana untuk desa, meskipun tak sampai satu miliar.
Kini setelah 6 tahun lebih undang-undang desa itu terbit, gelegar desa itu masih terasa. Bisa jadi memang bukan disebabkan oleh DD dan undang-undang itu. Tetapi memang dunia telah berubah dan makin maju.
Ada fenomena yang telah menyihir dunia. Seluruh kampung-kampung di seantero bumi telah terkena imbasnya. Ya ada fenomena digital, big data, dan mungkin masih ada beberapa fenomena lain yang kini terus memborbardir dunia.
Desa-desa di Indonesia juga tak mau kalah. Rasanya fenomena global itu juga disukai dan ada yang ingin menyorongkannya ke sana. Desa sudah terambah oleh fenomena digital itu. Meski mungkin tak adil. Hanya masyarakatnya yang sudah terpapar media sosial dan digital. Sementara tata kelola pemerintahannya masih pakai cara-cara tradisional. Padahal teknologi informasi dan komunikasi dipercaya akan meningkatkan efisiensi, kualitas dan transparansi (Brucher, 2003).
Maka ketika masih ada desa yang terasa berada di bawah tempurung, baik masyarakatnya dan otoritas pengelola pemerintahannya, atau salah satunya rasanya kita sedih. Ada yang tidak adil. Ketika yang lain sudah bermedia digital secara luas, bahkan sudah sampai berdebat tentang penyebaran ujaran kebencian dan hoax, di sebagian besar desa-desa itu masih tak bisa terkabarkan ke dunia luas. Bahkan kabar kebaikan pun kita tak bisa membaca dan melihatnya.
Perwujudan teknologi informasi dan komunikasi itu antara lain adalah mendigitalisasi apapun yang selama ini masih konvensional. Proses-proses administrasi dan sosial-budaya serta metode pengelolaan pemerintahan yang tadinya manual dikonversi menjadi digital. Setelah dalam wujud digital maka langkah untuk menggaungkan secara lebih luas kian dekat dan mudah. Tentu dari awal kita pagari agar praktik-praktik penyebaran hoax dan ujaran kebencian tak mencemari desa-desa kita itu. Mungkin melalui paket-paket program perbaikan tata kelola desa itu akan lebih mengena.
Obor Desa ingin menjadi kawan desa agar bisa bergaung lebih luas dengan cara yang santun dan bermartabat serta berkeadilan. Semoga…