Ada banyak cara untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADEs). Namun, untuk meningkatkan PADEs dibutuhkan pendekatan yang benar, agar peningkatan pendapatan beriringan dengan budaya local sebuah desa. Inilah jalan penting itu; ekonomi dan budaya local. Bagaimana meningkatkan PADEs dengan berbasis kearifan atau kecerdasan lokal.
Hal itu penting agar peningkatan pendapatan desa berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat desa. Jika tidak, pendapatan itu tidak berarti apa apa, kecuali hanya kepentingan investor itu sendiri. Inilah pentingnya meningkatkan PADEs berbasis kecerdasan local.
Dari berbagai pengalaman beberapa desa yang pendapatanya tinggi dan terus meningkat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, diantaranya; keterlibatan warga local, mulai dari perencanaan, penentuan program, hingga pelaksanaan. Terlibah pelibatan warga (anak anak muda) yang memiliki kapasitas, baik pendidikan ataupun komitmennya.
Selain itu yang tidak kalah penting adalah pembangunan infrastruktur desa. Ini penting dilakukan untuk menghubungkan akses yang akan dijadikan sember ekonomi desa. Pembangunan ini tentu dibutuhkan gotong royong seluruh warga. Nilai menjadi kekuatan warga desa.
Setelah infrastuktur terbangun, langkah berikutnya adalah membuat regulasi dan tata kelola. Ini perlu dilakukan agar ada berkelanjutan dan pembangunan menjadi milik warga desa, bukan investor. Dan inilah kewenangan desa.
Setelah peraturan dibuat dan dibentuk, maka desa membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan tata kelola yang berbasis kearifan lokal. Pengelola BUMDes menyusun tata kelola pengelolaan dengan model partisipatif dari warga dan masyarakat.
Setelah terbangun dan kuat secara perundangan, maka selanjutnya adalah melakukan promosi melalui Teknologi informasi dan media sosial. Ini untuk mempermudah promosi keberadaan sumber pendapatan, misalnya desa wisata.
Desa Wisata; Belajar dari Wisata di Gunung Kidul
Contoh menarik dari cara Peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADEs) melalui kearifan local ini adalah kasus desa wisata di beberapa daerah Gunung Kidul. Seiring dengan meningkatnya wisatawan di Gunung KIdul, meningkat juga kebutuhan sarana wahana dan penginapan.
Pemenuhan kebutuhan penginapan ini yang menarik untuk diamati. Pengelola desa wisata di Gunung Kidul tidak membangun rumah, villa apalagi hotel. Pengelola memanfaatkan rumah-rumah penduduk yang layak menjadi penginapan. Strategi ini selain efisien juga berdampak terhadap peningkatan pendapatan warga dan mengaktifkan rumah-rumah kosong. Seperti desa-desa pada umumnya, banyak rumah-rumah yang tidak dihuni lagi karena pemiliknya telah meninggal dan anak-anak mereka meninggalkan desa untuk bekerja dan tidak kembali lagi. Rumah-rumah tersebut tidak disewakan maupun dijual karena juga sulit laku.
Pengelola menyusun ketentuan dan kriteria rumah yang dapat menjadi mitra rumah penginapan. ketentuan tersebut disesuaikan dengan kondisi rumah warga pada umumnya misalnya minimal terdapat dua kamar yang disiapkan untuk penginapan, luas dan kebersihan dan kerapian. Pengelola memberikan gambar denah, interior, fasilitas tempat tidur kamar mandi dan lain-lain yang tidak terlalu sulit dipenuhi oleh warga. Kriteria-kriteria tersebut tidak semata berdasarkan pemikiran para pengelola tetapi juga hasil survey para wisatawan terkait dengan tipe penginapan berbasis kearifan lokal rumah warga. Setelah konsep jadi, ketentuan tesebut diinformasikan kepada warga dan bagi rumah warga yang layak dapat mendaftarkan diri.
Sambutan warga antusias sekali. Para warga membenahi dan merenovasi rumah mereka sesuai dengan ketentuan tersebut. Fenomena ini sekaligus menjadikan rumah-rumah di desa tersebut menjadi bersih dan rapi dengan warna warni yang mennynangkan dipandang yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Ketentuan lain terkait dengan tarif yang disesuaikan dengan kondisi rumah warga. Kemudian daftar dan jadwal makanan, minum dan jajanan khas desa/jogja. Pengelola juga menyiapkan rumah makan khusus dan katering untuk mendukung ketersediaan makan, minum, dan jajan khas desa dengan tenaga para ibu-ibu. Pemilik rumah juga diberi kesempatan menyediakan dan menjual sendiri apabila mampu. Ketentuan ini memberdayakan para ibu-ibu sekaligus makanan dan jajanan maupun souvenir khas desa/jogja.
Pengelola tidak mengira pendaftar melebihi ekspektasi sehingga diterapkan seleksi dan visitasi pada tahap awal. Setelah visitasi pengelola memiliki data rumah-rumah dengan fasilitas penginapan yang layak. Yang menarik rumah-rumah yang memiliki peternakan seperti ayam, sapi, kerbau, kambing, serta kolam ikan, juga menjadi daftar rumah penginapan. ternyata tipe seperti ini menjadi favorit termasuk wisatawan asing karena selain menginap mereka juga mendapat edukasi petrenakan.
Daftar inventarisasi penginapan rumah warga telah siap dalam bentuk katalog. Ketentuan berikutnya para warga yang rumah tidak boleh menawarkan dan menerima langsung wisatawan. Para warga pemilik rumah dilatih pelayan prima dalam menerima dan melayani tamu. Pengelola menentukan pola bahwa setiap wisatawan yang membutuhkan penginapan tetap melalui kantor pengelola layaknya resepsionis di hotel. Para resepsionis memberikan katalog dan penjelasan tipe dan kekhasan rumah-rumah penginapan warga tersebut. Ketika sudah sesuai maka wisatwan diantar untuk melihat langsung ke lokasi. Selanjutnya apabila cocok maka wisatawan bertransaksi di kantor denga tarif yang ditentukan yang alokasinya dibagi untuk warga 75 persen dan pengelola 25 persen.
Pemberdayaan masyarakat melalui desa wisata tidak berhenti bagi para bapak dan ibu tetapi juga para pemuda. Sebelum ada pengelolaan desa wisata, para pemuda desa banyak yang tertarik merantau kerja dan sebagian bagi yang tidak merantau menjadi pengangguran dan menjadi masalah sosial desa. Setelah desa wisata berada dan berkembang, pengelola melakukan strategi untuk pemberdayaan pemuda menjadi pemandu wisata, membuat souvenir yangditampung/dibeli pengelola desa wisata. Apabila warga yang rumahnya dijadikan penginapan ada pemudanya maka pemuda tersebut sekaligus melayani dan memandu wisatawan ke destinasi maupun keliling desa. Beberapa warga juga menjadikan sawah-sawah mereka untuk pendukung destinasi edukasi. Model ini mampu memberdayakan hampir keseluruhan pemuda desa sehingga kebiasaan merantau jauh berkurang kecuali untuk menempuh pendidikan tinggi dan mondok.
Model peningkatan PADEs di beberapa desa di Gunung Kidul dalam memberdayakan masyarakat secara massal secara ekonomi dan sosial serta menjaga kelestarian lingkungan maupun kearifan lokal. Model telah menjadi solusi masalah keuangan desa, ekonomi masyarakat/warga serta masalah sosial seperti urbanisasi, pengangguran maupun budaya lokal.(Mohammad Nizarul Alim)