Indonesia adalah negeri agraris. Mayoritas penduduknya mata pencariahanya adalah pertanian. Ironisnya, para petani nyaris selama hidupnya sering hidup tidak sejahtera. Bahkan selalu terpinggirkan; miskin, terbelakang, dan berada dalam ketidakadilan. Itulah kisah tragis abadi tentang petani di negeri ini.
Tidak heran, jika setiap tahun jumlah penduduk yang memilih menjadi petani selalu turun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2018 penduduk Indonesia yang memilih menjadi petani tercatat 35,70 juta orang. Namun ditahun 2019, jumlah tersebut turun ke angka 34,58 juta. Tahun 2020, terjun sekitar 33,4 juta penduduk yang memilih berprofesi sebagai petani. Memprihatinkan.
Dari jumlah tersebut, menurut catatan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian, jumlah petani yang berusia muda (20-39 tahun) hanya berjumlah 2,7 juta orang, atau sekitar 8 persen. Selebihnya lebih dari 90 persen masuk petani kolonial, atau petani yang sudah tua. Tidak heran, jika kemudian ada yang meramalkan, Indonesia bakal mengalami krisis petani dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan.
Pertanyaannya; mengapa menjadi petani tidak menarik lagi. Banyak faktor tentu saja. Mengurainya begitu kompleks. Namun, kemiskinan dan marjinalisasi yang dialami para petani dari dulu hingga kini, menjadi sebab penting yang menjadi latar mengapa pertanian di negeri ini akan terus mengalami penurunan bahkan ditinggalkan.
Problem struktural; ketidakadilan, biaya, kelangkaan pupuk, hingga monopoli, merupakan persoalan persoalan lama dan terus terulang. Kehadiran negara sering setengah hati dan tidak menyentuh ke jantung persoalan. Akibatnya, para petani sering tidak berdaya dan kembali jatuh semakin dalam pada sistem ekonomi tengkulak.
Petani pun berada dalam lingkaran setan ekonomi pertanian; menjadikan tengkulak seolah juru selamat sesaat, namun akan membuat mereka sekarat pada seluruh kehidupanya. Kerana hakikat tengkulak sesungguhnya adalah lintah darat. Penghisap kehidupan.
Akan tetapi para petani tidak punya pilihan. Mereka butuh makan, menyekolahkan anak, kesehatan keluarga, hinga segudang agenda sosial; arisan, kawinan, sunatan, kematian, dan seterusnya yang kesemuanya membutuhkan uang kontan.
Sementara menunggu hasil pertanian, sama saja menunggu keberuntungan lotre datang; memberi harapan namun tanpa kepastian. Maka memilih tidak menjadi petani, pada akhirnya adalah pilihan yang paling rasional; menjadi pedagang, buruh pabrik, kuli bangunan, hingga gojek terlihat lebih menjanjikan. Sebab kesemuanya memberikan jalan kontan uang.
Maka, menjadi petani di hari ini sesungguhnya membeli kucing dalam karung. Meski potensi dan harapan itu selalu dihembuskan (Khoirul Rosyadi).